Kenapa Wanita Harus Nyantri?
Kenapa Wanita Harus Nyantri?
Oleh:
Abdus Salam*
Banyak orang tua yang gagal paham menempatkan putrinya dalam dunia pendidikan, sehingga mereka banyak yang terjebak dalam gaya hidup yang salah menurut pandangan agama Islam. Wanita yang secara syar'i harus memperhatikan kode etik berpakaian, justru dengan lingkungan barunya mereka berubah secara drastis dan tragis. Pola islami dalam berbusana tidak lagi dipertahankan karena dipengaruhi model trend day yang begitu membudaya di tengah-tengah kaum milenial. Begitu juga dalam tingkah laku, mereka tidak dapat menunjukkan nilai-nilai Islam yang maha santun dan cinta perdamaian. Baik dalam kapasitasnya sebagai istri bagi suaminya, ibu bagi anak-anaknya maupun sebagai makhluk sosial pada umumnya.
Hal lain yang turut memperparah dekadensi moral para wanita serta memberi pengaruh besar terciptanya pribadi yang tidak terdidik adalah statemen negatif yang terus digulirkan kaum primitif kepada para wanita. Mereka bilang, "untuk apa wanita sekolah tinggi, pada akhirnya terdampar di dapur? Untuk apa terus belajar, pada akhirnya harus terkurung dalam penjara suami? Sebuah pernyataan tajam yang menghancurkan semangat belajar para wanita, sehingga banyak dari mereka yang tidak kompeten dalam ilmu pengetahuan.
Karena itu, dalam artikel ini perlu penulis sampaikan beberapa alasan pentingnya nyantri bagi para wanita secara tuntas, sehingga mampu menjadi 'imǎdul bilad (tiang negara) dan agama yang membanggakan. Hal itu adalah sebagai berikut:
1. Menyikapi Tantangan Gaya Hidup Modern
Seiring dengan kecepatan arus informasi dan inovasi di era modernisasi banyak perubahan moral dan gaya hidup yang menyimpang. Masuknya turisme dengan model khasnya turut memberi dampak besar amoralnya para wanita. Sehingga banyak tindakan salah yang terus dibudayakan oleh kaum wanita, seperti berpose dengan aurat terbuka, bergaul dengan laki-laki bukan mahram dan meninggalkan kewajiban dan tuntatan dalam Islam.
Karenanya, nyantri di Pondok Pesantren adalah salah satu solusi terbaik untuk membentengi diri menghadapi gaya hidup modern. Di Pondok, para santri benar-benar diwajibkan menutupi aurat sepanjang hari dan malam. Baik ketika makan, bekerja apalagi mengikuti kegiatan belajar. Bahkan tidak hanya menutupi aurat, santri juga dibiasakan dengan busana sederhana yang tidak memiliki nilai jual mahal. Ketetapan seragam yang harus ditaati dengan kualitas kain yang rendahan dan desain yang apa adanya, dapat menumbuhkan mindset berpikir yang sederhana dalam berpakaian dan berpenampilan. Lebih mendidik lagi, para santri wanita tidak diperkenankan berdandan dan berhias secara berlebihan, sehingga kesederhanaan benar-benar didoktrin dalam dunia pesantren.
Selain itu, santri banyak menerima bimbingan cara syar'i dalam berbusana dan berpenampilan dari para kiai, nyai dan ustadzah. Baik secara spontanitas dari para nyai dan ustadzah di saat bertemu dan bersama mereka maupun secara sistematis melalui jalur pendidikan. Bahkan dalam kurikulum pendidikan hal itu dikupas secara tuntas, mulai dari pedoman hidup bagi wanita, keuntungan bagi yang menjalankannya serta ancaman siksaan bagi mereka yang melanggarnya. Sehingga secara konseptual para wanita memiliki kekuatan mental yang matang dalam menyikapi berbagai life style yang terus mengancam.
2. Madrasah Pertama Bagi Anak-Anaknya
Anak merupakan anugerah dan nikmat besar yang diberikan oleh Allah Swt, yang sekaligus menjadi amanah bagi orang tua untuk menjaga dan mendidiknya dengan baik agar kelak menjadi anak yang shalih/shalihah, berbudi pekerti baik dan patuh terhadap perintah orang tua.
Ahmad Syauqy menuturkan:
الأم المدرسة الأولى إذا اعددتها اعددت شعبا طيبا
Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkanya maka engkau telah mempersiapkan generasi yang terbaik.
Karena itu, ibu harus mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Kenapa ibu disebut madrasah pertama bagi anak-anaknya? Ibu adalah orang pertama yang terus menemani, melindungi, merawat dan menjaga anak-anaknya. Mulai dilahirkan, disusui, diberi makanan, dimandikan dan berbagai interaksi di saat anak masih kecil. Sejak ini pendidikan anak sudah dimulai dan perlu diproses secara profesional. Dari seorang ibu, anak belajar cara berbicara bahasa Madura, Indonesia, Inggris maupun bahasa Arab. Kalau ibunya berbahasa Arab, maka anaknya pasti berbahasa Arab. Begitu seterusnya. Dari ibu, anak memahami etika berbicara yang baik dan yang buruk. Dari ibu juga, anak akan memahami tingkah laku yang beradab maupun yang biadab. Bahkan pendidikan anak ketika belum baligh sangat produktif. Karena mereka mudah mengingat dan menghapal setiap apa yang mereka dengar dan lihat. Sebagaimana syair Arab berikut ini:
والطفل يحفظ ما يلقى عليه ولا # ينساه إذ قلبه كالجوهر الصافي
فانقش على قلبه ما شئت من خبر # فسوف يأتي به من حفظه وافي
Anak-anak dapat menghapal setiap apa yang disampaikan kepadanya
Dia tidak akan mudah melupakannya, sebab hatinya laksana mutiara yang bersih.
Ukirlah informasi apapun dihatinya
Pasti dia dapat menghapalnya dengan sempurna.
Menurut fakta dan realita khazanah keilmuan istri lebih berfungsi kepada anak dari pada suami. Kesibukan karir dan tugas yang diemban seorang ayah menjadi persoalan yang menghambatnya untuk mendidik dan membimbing anak-anaknya. Meski kadang profesinya adalah pengajar, ia sibuk mengajar anak orang lain yang berada di instansi tempat tugasnya. Sementara setelah pulang ke rumah ia hanya bisa istirahat dan menghilangkan rasa lelah.
Dalam posisinya sebagai madrasah pertama, ibu dituntut memiliki skill dan kemampuan yang mendalam mengenai tata cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Harus mengerti materi apa saja yang layak diperdengarkan dan diperlihatkan kepada anak. Sehingga nyanti sampai tuntas menjadi pilihan yang sangat tepat bagi kaum Hawa. Karena di pondok pesantren mereka akan diajarkan cara menjadi ibu yang ideal menurut Islam. Bahkan tidak hanya tataran teori tapi juga dimatangkan dengan metode praktik, seperti membantu nyai menjaga putra dan putrinya, memberi makan (deeren: Madura) dan turut menangani ketika menangis dan sakit. Sehingga saat menjadi ibu rumah tangga, mereka sudah menguasai cara yang relevan dalam merawat dan membesarkan anak. Doa-doa pun akan terus mereka ucapkan demi kebaikan anak di dunia dan akhirat. Karena santri pasti mengerti bahwa doa orang tua tidak akan ditolak oleh Allah Swt.
3. Pentingnya Menjadi Ustadzah
Dengan semakin berkembangnya pesantren, semakin banyak pula kebutuhan yang harus disediakan, termasuk guru atau biasa disebut ustadz-ustadzah. Karena kiai sangatlah tidak mungkin mengurus dan mengajar sendirian dengan kuantitas santri yang begitu banyak, dari kalangan wanita maupun pria.
Kita tahu, guru banyak didominasi oleh kaum pria walaupun santrinya adalah para wanita. Hal itu karena pembendaharaan ilmu pengetahuan wanita banyak yang kurang. Kuantitas wanita yang melebihi kaum pria tidak diimbangi dengan kualitas keilmuan, sehingga tidak banyak memiliki mandat sebagai ustadzah. Sedangkan fuqaha memberi syarat yang ketat bagi pria agar tidak haram mengajar santri wanita. Sebagaimana yang dipaparkan dalam kitab Fathul A’lam Juz. 2, Hal. 191: “laki-laki diperbolehkan mengajar perempuan dengan syarat: 1. Tidak adanya syahwat dan tidak khawatir terjadinya hal-hal negatif. 2. Harus adanya hijab (penghalang pandangan) antara guru dan murid. 3. Tidak ada pengajar sejenis atau mahram yang kompeten mengajar.” Sebuah syarat yang sangat sulit diterapkan dengan baik, sehingga berimplikasi mudahnya berdosa bagi guru laki-laki ketika mengajar perempuan.
Karena itu, nyantri adalah kebutuan mutlak bagi para wanita agar kapasitas keilmuannya tidak diragukan sehingga mampu mengemban tugas sebagai guru bagi kaum Hawa. Jika wanita sudah banyak yang mengajar secara memupuni maka sangatlah mendorong tegaknya budaya islami. Campur-baur antara siswa dan siswi dalam satu kelas bisa dihindari dengan menempatkan guru wanita untuk siswi dan guru laki-laki untuk siswa. Teknik ini tidak hanya mengantisipasi perbuatan terlarang bagi guru tapi juga meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak diperbolehkan terhadap siswa dan siswi.
4. Pekerja Dapur
Sebagaimana yang sudah familiar di kalangan masyarakat bahwa mayoritas bahkan semua perempuan adalah pekerja dapur. Posisi ini memunculkan klaim bahwa wanita tidak perlu menuntut ilmu terlalu dalam dan tinggi, karena pekerjaan dapur tidak membutuhkan keahlian tinggi untuk bisa menyelesaikan, bahkan tanpa nyantri dan sekolahpun itu bisa digelutinya dengan tepat. Klaim ini hanyalah konfigurasi masyarakat yang dangkal dan tidak berpendidikan, sehingga tidak memahami esensi pekerjaan dapur menurut Islam.
Karena itu, perlu dijelaskan bahwa pekerja dapur tidak semudah yang mereka kira. Ada beberapa cara yang harus dipahami. Diantaranya 1. Memahami tata cara mensucikan perlengkapan dapur sesuai ketentuan fiqih. Kalau tidak memahaminya, maka fasilitas yang digunakan semua keluarga adalah mutanajjis termasuk piring dan sendok makan, 2. Mengerti manajemen keuangan yang legal syar’i. Kalau tidak mengerti, maka yang harampun dia pakai untuk kebutuhan makan keluarga. Sedangkan makan sesuatu yang haram merupakan virus akut yang mengerikan. Tidak hanya merusak terkabulnya do’a dan menurunkan semangat beribadah kepada Allah Swt, tapi juga mendapat ancaman neraka di akhirat nanti, 3. Memahami hakikat tugasnya di dapur, di rumah dan pekerjaan domestik yang lain. Kalau tidak memahaminya, maka akan banyak praktik yang keluar dari koridor Islam dan berimplikasi timbulnya tindakan durhaka kepada Allah Swt dan suaminya.
Oleh karena itu, nyantri adalah jalan keluar yang paling tepat bagi kaum wanita agar mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Apalagi dalam Islam tidak ada dikotomi pendidikan bagi wanita dan pria. Semuanya punya hak yang sama untuk belajar dan memahami berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim diterangkan:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya: “Menuntut ilmu diwajibkan bagi setiap muslim.”
*Abdus Salam adalah santri Pondok Pesantren Gedangan asal Gresik yang saat ini ditugas ke Jember.